Search

Sekelumit Problema Seputar Ruqyah

Posted by Zam on Sunday, December 1, 2013

Ruqyah alias jampi-jampi adalah perkara yang telah ada di zaman Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, bahkan telah dilakukan oleh kaum musyrikin. Hanya saja ruqyah mereka berisi kesyirikan dan kekafiran. Adapun  ruqyah dalam Islam adalah metode pengobatan yang menggunakan Al-Qur’an, dan dzikir-dzikir yang pernah diajarkan oleh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-, atau dzikir yang mengandung makna yang baik, tak menyelisihi syariat. Tujuan ruqyah untuk mengobati orang yang sakit, dengan berbagai macamnya.

Merebaknya kegiatan ruqyah me-ruqyah perlu mendapatkan tanggapan dan perhatian agar para pe-ruqyah tidak keliru dalam melakukan ruqyah. Sebab, sering kita menemukan banyak terjadi pelanggaran dalam kegiatan ini sehingga perlu kiranya para pembaca dan lainnya mengetahui beberapa perkara berikut yang berkaitan dengan masalah ruqyah melalui fatwa-fatwa para ulama kita yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Iftaa’.

Menggunakan Surah Al-Fatihah dan Lainnya

Me-ruqyah dengan menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an (misalnya, Surah Al-Fatihah) adalah perkara yang boleh dalam syariat kita.

Ada yang pernah bertanya kepada Syaikh Abdur Razzaq Afifi, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al-Ghudayyan dan Syaikh Abdullah bin Sulaiman bin Mani’ -rahimahumullah- dengan pertanyaan berikut, “Apakah membaca Surah Al-Ikhlash, Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan an-Naas) dan Al-Fatihah dalam pengobatan adalah perbuatan yang haram atau halal. Apakah Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- atau seorang diantara As-Salaf Ash-Sholih pernah melakukannya. Tolong berilah faedah kepada kami?”

Para ulama besar yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah tersebut menjawab,

“Sesungguhnya membacakan Surah Al-Ikhlash, Al-Mu’awwidzatain (Al-Falaq dan an-Naas) dan Al-Fatihah serta yang lainnya dari Al-Qur’an kepada orang yang sakit adalah termasuk ruqyah yang boleh, disyariatkan oleh Rasulullah -Shallallahu alaihi wa sallam- melalui perbuatan dan persetujuan beliau kepada para sahabatnya.

Al-Bukhoriy dan Muslim meriwayatkan dalam kitab Shohih milik mereka berdua dari jalur Ma’mar dari az-Zuhri dari Urwah dari A’isyah -radhiyallahu anha-,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَنْفُثُ عَلَى نَفْسِهِ فِي الْمَرَضِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ بِالْمُعَوِّذَاتِ فَلَمَّا ثَقُلَ كُنْتُ أَنْفِثُ عَلَيْهِ بِهِنَّ وَأَمْسَحُ بِيَدِ نَفْسِهِ لِبَرَكَتِهَا فَسَأَلْتُ الزُّهْرِيَّ كَيْفَ يَنْفِثُ قَالَ كَانَ يَنْفِثُ عَلَى يَدَيْهِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ

“Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah meniup (saat me-ruqyah) dirinya ketika beliau sakit yang mengantarkan kepada kematian, dengan membaca Al-Mu’awwidzat (Surah Al-Ikhlash, Al-Falaq dan An-Naas). Tatkala beliau sudah kesusahan, maka aku yang meniup beliau dengan membaca surat-surat itu dan aku usapkan tangan beliau sendiri karena berkahnya”.

Ma’mar berkata, “Aku bertanya kepada Az-Zuhri, “Bagaimana beliau meniup?” Az-Zuhri menjawab, “Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- meniup kedua tangannya dan mengusapkan kedua tangannya pada wajahnya”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (7/22), Muslim (14/182: Al-Minhaj) dan Abu Dawud (4/224)]

Al-Bukhoriy juga meriwayatkan sebuah hadits dari jalur Abu Sa’id Al-Khudriy -radhiyallahu anhu-,

أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَوْا عَلَى حَيٍّ مِنْ أَحْيَاءِ الْعَرَبِ فَلَمْ يَقْرُوهُمْ فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ إِذْ لُدِغَ سَيِّدُ أُولَئِكَ فَقَالُوا هَلْ مَعَكُمْ مِنْ دَوَاءٍ أَوْ رَاقٍ فَقَالُوا إِنَّكُمْ لَمْ تَقْرُونَا وَلَا نَفْعَلُ حَتَّى تَجْعَلُوا لَنَا جُعْلًا فَجَعَلُوا لَهُمْ قَطِيعًا مِنْ الشَّاءِ فَجَعَلَ يَقْرَأُ بِأُمِّ الْقُرْآنِ وَيَجْمَعُ بُزَاقَهُ وَيَتْفُلُ فَبَرَأَ فَأَتَوْا بِالشَّاءِ فَقَالُوا لَا نَأْخُذُهُ حَتَّى نَسْأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَأَلُوهُ فَضَحِكَ وَقَالَ وَمَا أَدْرَاكَ أَنَّهَا رُقْيَةٌ خُذُوهَا وَاضْرِبُوا لِي بِسَهْمٍ

“Sesungguhnya ada beberapa orang dari kalangan para sahabat Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- pernah mendatangi suatu perkampungan diantara perkampungan-perkampungan orang Arab. Kaum itu tidak mau menjamu para sahabat. Ketika demikian halnya, tiba-tiba pemimpin kaum itu disengat kalajengking. Mereka (kaum itu) pun berkata, “Apakah ada obat  atau orang mampu me-ruqyah menyertai kalian”. Para sahabat menjawab, “Sesungguhnya kalian tadi tak mau menjamu kami. Kami tak akan melakukan hal itu (yakni, me-ruqyah) sampai kalian mau memberikan upah bagi kami. Merekapun memberikan beberapa ekor kambing kepada para sahabat. Dia (Abu Sa’id Al-Khudri) pun mulai membaca Ummul Qur’an (Al-Fatihah), mengumpulkan ludahnya dan meludahi (tubuh pemimpin kaum itu). Akhirnya, ia pun sembuh. Kemudian kaum itu datang membawa beberapa ekor kambing. Lalu para sahabat berkata, “Kami tak akan mengambilnya sampai kami menanyai Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam-”. Mereka pun bertanya kepada beliau. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- tertawa seraya bersabda, “Apakah kalian tak tahu bahwa ia (Al-Fatihah) adalah ruqyah? Ambillah (kambing itu) dan berikan bagian untukku”. [HR. Al-Bukhoriy (7/23) dan Muslim]

Jadi, di dalam hadits pertama terdapat pembacaan (yakni, ruqyah) Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- terhadap dirinya dengan menggunakan Al-Mu’awwidzaat di saat beliau sakit; dalam hadits kedua, persetujuan beliau kepada para sahabat dalam meruqyah dengan menggunakan Al-Fatihah. Wabillahit taufiq wa shollallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa alihi wa shohbih ajma’in”. [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Iftaa’ (1/242-243), cet. Balansiyah, 1421 H]

Mengambil Perjanjian dari Jin

Sebagian orang yang terjun dalam ruqyah melakukan sebuah dialog panjang berisi segala macam pertanyaan kepada jin. Bahkan ada diantara mereka yang mengambil janji dari jin agar jin itu tidak mengganggu orang yang ia rasuki. Semua ini adalah penyelisihan terhadap sunnah Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- dalam me-ruqyah. Sunnahnya, seseorang hanya disunnahkan membacakan ayat-ayat Al-Qur’an sampai jinnya keluar, dan sesekali memerintahkannya keluar dari tubuh orang itu, bukan melakukan dialog dengan segala macam tanya-jawab di dalamnya.

Para ulama dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah (seperti, Syaikh bin Baaz, Syaikh Abdur Razzaq Afifi, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al-Ghudayyan, dan Abdullah bin Qu’ud -rahimahumullah-) ditanya, “Apa hukum agama terhadap orang-orang yang membacakan ayat-ayat Allah yang mulia. Sebagian diantara mereka menghadirkan dan mempersaksikan jin serta mengambil perjanjian dari para jin agar tidak mengganggu lagi orang yang di-ruqyah?”

Para ulama itu menjawab, “Ruqyah seorang muslim kepada saudaranya dengan membacakan Al-Qur’an kepadanya adalah perkara yang disyariatkan. Sungguh Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- telah mengizinkan ruqyah selama bukan kemusyrikan. Adapun orang yang menggunakan jin, meminta persaksian mereka dan mengambil janji dari mereka agar tidak lagi merasuki orang ini yang telah di-ruqyah dengan Al-Qur’an dan tidak lagi mengganggunya dengan suatu keburukan, maka semua ini tak boleh, Wabillahit taufiq wa shollallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa alihi wa shohbih wa sallam”. [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Iftaa’ (1/254-255), cet. Balansiyah, 1421 H]

Mendatangi Paranormal atau Dukun

Banyak diantara kaum muslimin bila ia tertimpa penyakit, maka ia mendatangi para dukun atau paranormal. Semua ini adalah kekeliruan, sebab Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- melarang untuk mendatangi para dukun. Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- bersabda,

مَنْ أَتَى كَاهِنًا أَوْ عَرَّافًا فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Barang siapa yang mendatangi dukun atau arraf (peramal) lalu membenarkan apa yang ia katakan, maka ia telah kafir terhadap apa yang diturunkan kepada Muhammad”. [HR. Ahmad dalam Musnad-nya (2/429/no.9532), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (1/8/no.15), Al Baihaqi (7/198/no.16274), dan di-shahih-kan oleh Syaikh Al Albaniy dalam Shohih At-Targhib  (3047)

Para ulama yang tergabung dalam Al-Lajnah Ad-Da’imah (misalnya, Syaikh bin Baaz, Syaikh Abdur Razzaq Afifi dan Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al-Ghudayyan -rahimahumullah-) ditanya tentang mendatangi orang yang dianggap pintar mengobati.

Para ulama itu menjawab, “Boleh bagi orang yang sakit untuk berobat dari penyakitnya dengan menggunakan obat-obat halal, ruqyah yang disyariatkan dan doa-doa yang disyariatkan. Haram mendatangi para dukun dan paranormal yang mengaku tahu perkara gaib, membuat rajah-rajah (jimat) dan melakukan jampi-jampi musyrik, walaupun mereka (para dukun atau paranormal) itu termasuk orang yang dipanggil “sayyid”. Wabillahit taufiq wa shollallahu ala Nabiyyina Muhammadin wa alihi wa shohbih wa sallam”. [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Iftaa’ (1/262), cet. Balansiyah, 1421 H]

Larangan Berduaan dengan Lawan Jenis saat Me-Ruqyah

Ada seorang yang pernah menikah dengan seorang wanita. Tiba-tiba sang istri terkena penyakit jiwa sebanyak dua kali. Pertama kalinya, ia dibawa oleh keluarganya kepada seorang dukun, tanpa persetujuan suaminya. Berselang beberapa saat penyakitnya kambuh lagi sambil berteriak-teriak. Akhirnya, sang suami berinisiatif mengobati dengan metode ruqyah di sisi seorang tabib. Keluarga sang istri marah dan berisikeras membawanya ke dukun, sebab si dukun mengelabui keluarga si istri bahwa penyebab utama datangnya penyakit itu adalah sang suami.

Fakta ini pernah ditanyakan oleh sang suami kepada Al-Lajnah Ad-Da’imah (seperti, Syaikh bin Baaz, Syaikh Abdur Razzaq Afifi, Syaikh Abdullah bin Abdir Rahman Al-Ghudayyan, dan Abdullah bin Qu’ud -rahimahumullah-) sambil meminta solusi.

Para ulama itu menjawab, “Anda sudah tepat dalam mengobatinya dengan membacakan Al-Qur’an kepadanya dan doa-doa Nabi -Shallallahu alaihi wa sallam- yang ternukil. Namun haram (bagi si istri) berduaan dengan laki-laki asing yang me-ruqyah-nya. Juga haram baginya untuk menyingkap sesuatu dari auratnya di depan orang itu. Haram pula lelaki itu meletakkan tangannya pada diri si istri. Andaikan anda (suami) yang menangani terapinya sendiri, atau ditangani oleh salah seorang mahramnya istri, maka itu lebih hati-hati (lebih selamat dari pelanggaran). Kami juga memandang perlunya mengobati sang istri di rumah sakit dan semisalnya di sisi seorang dokter spesialis penyakit jiwa, karena si dokter ini telah fokus dalam mengobati penyakit semacam ini. Adapun membawanya kepada seorang dukun untuk mengobatinya, maka perkara ini terlarang -(lalu para ulama itu membawakan hadits-hadits larangan mendatangi para dukun)- Semoga Allah memberikan taufiq kepada semua pihak untuk mengikuti kebenaran, berpegang teguh dengannya dan meninggalkan segala pelanggaran”. [Lihat Fatawa Al-Lajnah Ad-Da’imah li Al-Buhuts Al-Ilmiyyah wa Al-Iftaa’ (1/253-254), cet. Balansiyah, 1421 H]

Oleh : Al-Ustadz Abdul Qodir Abu Fa’izah –hafizhahullah-
sumber : http://pesantren-alihsan.org/sekelumit-problema-seputar-ruqyah.html, akses tgl 01/12/2013.

{ 0 comments... read them below or add one }

Post a Comment