Jamban Panyileukan, Mani atau sperma menjadi perdebatan para fuqaha Islam. Apakah mani itu suci atau justru najis? Perihal ini sama sekali tidak ditemukan keterangannya secara jelas baik dalam Alquran maupun hadist. Jadi, terbuka kemungkinan adanya perbedaan pendapat antara para ahli hukum Islam.
Seperti dikutip dari Ensiklopedi Hukum Islam, dikalangan ulama Mazhab Syafi‘i, terdapat tiga pendapat mengenai status hukum mani manusia, baik dari laki-laki maupun perempuan. Pertama, mani dikategorikan suci. Inilah pendapat yang paling kuat. Kedua, najis, baik dari laki-laki maupun dari perempuan. Ketiga, mani laki- laki suci dan mani perempuan najis karena akan bercampur dengan cairan lain.
Adapun berkenaan dengan mani hewan terdapat dua pendapat. Pertama, ,menurut pendapat yang paling kuat, mani hewan hukumnya suci kecuali mani anjing dan babi serta turunannya. Kedua, najis secara keseluruhan.
Dalam kalangan ulama Mazhab Hanbali terjadi perbedaan pendapat mengenai hukum mani. Pertama, menurut pendapat yang paling populer, mani manusia hukumnya suci. Sedangkan yang kedua, menurut pendapat yang paling kuat, mani manusia dan mani binatang yang dimakan hukumnya suci. Ketiga, najis, baik dari manusia maupun binatang.
Pun, Mazhab aliki, hukum mani diperdebatkan. Pendapat yang paling kuat menyatakan kenajisan mani dan pendapat lain memandang hukum mani disesuaikan dengan hukum memakan dagingnya. Apabila dagingnya halal dimakan, maka suci maninya. Dan, jika dagingnya haram dimakan, maka najis maninya.
Berbeda dengan ketiga mazhab di atas, ulama Mazhab Hanafi sepakat tentang kenajisan semua mani, baik dari manusia maupun dari binatang, baik binatang yang dimakan dagingnya maupun yang tidak dimakan.
Argumen yang diajukan sebagai dasar hukum oleh kelompok yang menyatakan kenajisan mani, antara lain:
1. Hadist dari Aisyah binti Abu Bakar, ”Saya mencuci mani pada pakaian Rasulullah SAW dan kemudian Rasulullah SAW pergi melaksanakan salat dengan pakaian tersebut sekalipun masih ada bekas air padanya.” (HR. Bukhari).
2. Sabda Rasulullah SAW, ” Pakaian harus dicuci apabila terkena oleh lima macam, yaitu: air seni, tinja, muntah, mani, dan darah.” (HR. Bazzar dan Abu Yala).
Sedangkan landasan hukum yang dikemukakan oleh ulama yang menyatakan kesucian mani antara lain; Pertama, Aisyah binti Abu Bakar mengatakan, ”Saya pemah mengorek mani (kering) dari pakaian Rasulullah SAW, lalu Rasulullah SAW menggunakan pakaian tersebut untuk salat.” (HR. Muslim).
Kedua, Rasulullah SAW bersabda, ”Mani itu laksana ingus dan ludah. Oleh karena itu, cukup bagimu untuk membersihkannya dengan menyapunya dengan perca kain atau tumbuhan yang berbau harum.” (HR. Tirmizi dan Daruqutni).
Reporter : Hannan Putra
Redaktur : Citra Listya Rini
sumber : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/11/27/mww62z-mani-suci-atau-najis, akses tgl 29/11/2013.
Seperti dikutip dari Ensiklopedi Hukum Islam, dikalangan ulama Mazhab Syafi‘i, terdapat tiga pendapat mengenai status hukum mani manusia, baik dari laki-laki maupun perempuan. Pertama, mani dikategorikan suci. Inilah pendapat yang paling kuat. Kedua, najis, baik dari laki-laki maupun dari perempuan. Ketiga, mani laki- laki suci dan mani perempuan najis karena akan bercampur dengan cairan lain.
Adapun berkenaan dengan mani hewan terdapat dua pendapat. Pertama, ,menurut pendapat yang paling kuat, mani hewan hukumnya suci kecuali mani anjing dan babi serta turunannya. Kedua, najis secara keseluruhan.
Dalam kalangan ulama Mazhab Hanbali terjadi perbedaan pendapat mengenai hukum mani. Pertama, menurut pendapat yang paling populer, mani manusia hukumnya suci. Sedangkan yang kedua, menurut pendapat yang paling kuat, mani manusia dan mani binatang yang dimakan hukumnya suci. Ketiga, najis, baik dari manusia maupun binatang.
Pun, Mazhab aliki, hukum mani diperdebatkan. Pendapat yang paling kuat menyatakan kenajisan mani dan pendapat lain memandang hukum mani disesuaikan dengan hukum memakan dagingnya. Apabila dagingnya halal dimakan, maka suci maninya. Dan, jika dagingnya haram dimakan, maka najis maninya.
Berbeda dengan ketiga mazhab di atas, ulama Mazhab Hanafi sepakat tentang kenajisan semua mani, baik dari manusia maupun dari binatang, baik binatang yang dimakan dagingnya maupun yang tidak dimakan.
Argumen yang diajukan sebagai dasar hukum oleh kelompok yang menyatakan kenajisan mani, antara lain:
1. Hadist dari Aisyah binti Abu Bakar, ”Saya mencuci mani pada pakaian Rasulullah SAW dan kemudian Rasulullah SAW pergi melaksanakan salat dengan pakaian tersebut sekalipun masih ada bekas air padanya.” (HR. Bukhari).
2. Sabda Rasulullah SAW, ” Pakaian harus dicuci apabila terkena oleh lima macam, yaitu: air seni, tinja, muntah, mani, dan darah.” (HR. Bazzar dan Abu Yala).
Sedangkan landasan hukum yang dikemukakan oleh ulama yang menyatakan kesucian mani antara lain; Pertama, Aisyah binti Abu Bakar mengatakan, ”Saya pemah mengorek mani (kering) dari pakaian Rasulullah SAW, lalu Rasulullah SAW menggunakan pakaian tersebut untuk salat.” (HR. Muslim).
Kedua, Rasulullah SAW bersabda, ”Mani itu laksana ingus dan ludah. Oleh karena itu, cukup bagimu untuk membersihkannya dengan menyapunya dengan perca kain atau tumbuhan yang berbau harum.” (HR. Tirmizi dan Daruqutni).
Reporter : Hannan Putra
Redaktur : Citra Listya Rini
sumber : http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/13/11/27/mww62z-mani-suci-atau-najis, akses tgl 29/11/2013.
{ 0 comments... read them below or add one }
Post a Comment