(1)
Bukan main! Imam Syafi’i dituduh kalangan liberal sebagai penyebab kemunduran umat Islam lebih dari dua belas abad |
Belakangan ini usaha mensekulerkan hukum-hukum Islam terasa semakin kuat. Beberapa kalangan penggagas liberalisme secara instens mengkampanyekan pemikirannya lewat tulisan, buku, atau ceramah. Mereka di antaranya Muhammed Arkoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Khalafallah, Khalil ‘Abd al-Karim, dan lain-lain. Orang-orang ini sedang menempuh jalur yang pernah dirambah Harvey Cox dalam mensekulerkan Kristen.
Seperti Cox, Nasr Hamid, misalnya, berusaha memberi justifikasi teologis atas sekularisasi dalam Islam. Ia mencoba memberikan interpretasi baru atas istilah sekularisme. Menurutnya, sekularisme bukanlah pemikiran yang menentang agama, tapi perlawanan terhadap tafsir literal para agamawan gereja.
“Sekularisme,” tulis Nasr Hamid, “adalah penentangan atas hak pemilikan kebenaran mutlak, mempertahankan relativitas, historisitas, pluralitas, dan hak berbeda, bahkan hak untuk salah. Atas dasar inilah Nasr Hamid menarik kesimpulan bahwa sekularisme tidak bertentangan dengan aqidah.
Dalam bukunya, Naqd al-Khitab ad-Dini (1995), ia dengan berani menyatakan, “Bal inna al-Islam huwa ad-din al-‘almani bimtiyazin liannahu la ya’tarif bi sultah al-kahnut.” (Bahkan Islam adalah agama sekuler par-execelence karena ia tidak mengakui adanya kerahiban).
Sekularisme telah menimbulkan perdebatan hangat di kalangan cendekiawan Muslim. Banyak yang menentang, tapi tak sedikit yang setuju. Yang setuju biasanya berusaha menjustifikasikanny a melalui redefinisi dan re-konseptualisasi atas perkataan tersebut. Bahkan, mendiang Nurcholish Madjid pun sampai pada kesimpulan bahwa sekularisasi sama dengan tauhidisasi. Pemahaman ini telah mendapat kritikan pedas dari almarhum Rasyidi karena dinilai telah melakukan redefinisi yang bersifat arbitreri.
Sebagaimana Nurcholis, Nasr dan Arkoun pun juga terjebak dalam persoalan yang sama. Yaitu memberikan definisi ulang atas konsep ini tanpa merujuk pada sistem berpikir dari mana konsep itu terlahir.
Bahkan dalam dunia pemikiran Arab, istilah sekularisme telah menimbulkan persoalan rumit. Sebagian mennerjemahkannya dengan ‘ilmaniyyah, yang berasal dari kata ‘ilm. Sebagian lain menerjemahkan dengan ‘almaniyyah dari kata ‘alam. Ada juga yang menerjemahkannya dengan ad-dunyawiyyah dan al-ladiniyyah. Akibat perbedaan terjemahan inilah akhirnya pemikir Arab pun banyak yang berbeda menyikapinya.
Mengkritik Hukum Islam
Hari ini hukum Islam (fiqh Islam) sedang mendapat sorotan tajam dan kritikan pedas dari berbagai kalangan, khususnya kaum liberal. Islam dituduh bersikap diskrimantif terhadap non-Muslim. Islam belum memberikan jawaban yang memadai. Oleh karena itu, aspek ajarannya dianggap tidak senafas dengan nilai dan norma budaya masyarakat hari ini. Banyak produk hukum yang dianggap bertentangan dengan prinsip demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).
Kaum liberal juga menilai bahwa pandangan Islam terhadap non-Muslim bersifat diskrimantif. Konsep-konsep seperti kafir, murtad, dan musyrik telah menempatkan penganut agama lain lebih rendah ketimbang umat Islam.
Tidak cuma itu, hukum Islam juga dianggap telah melecehkan kaum wanita. Wanita dipandang selalu ditempatkan sebagai subordinat kaum pria. Menurut para pengkritik ini, hal itu lebih disebabkan adanya bias penafsiran dan bias gender.
Hukum Islam dinilai telah gagal merespons persoalan yang sedang berkembang karena bangunan metodologisnya lemah. Mereka kemudian menuduh ushul-fiqh yang menjadi perangkat metodologis untuk menghasilkan hukum-hukum tersebut dikatakan hanya berkutat pada teks, bukan pada konteks.
Seorang pegiat Islam Liberal di Indonesia, Mun’im A Sirry, dalam buku Fiqih Lintas Agama (diterbitkan oleh Yayasan Paramadina bekerjasama dengan The Asia Foundation, 2004), menulis, “Kita lupa, Imam Syafi’i memang arsitek ushul-fiqh yang paling brilian, tapi juga karena Syafi’ilah pemikiran-pemikiran fiqh tidak berkembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi’i meletakkan kerangka ushul-fiqihnya, para pemikir fiqh Muslim tidak mampu keluar dari jeratan metodologinya.”
Bukan main! Imam Syafi’i dituduh sebagai penyebab kemunduran umat Islam lebih dari dua belas abad.
Sama dengan para pendahulunya seperti Muhammad Arkoun dan Nasir Hamid, aktivis Islam Liberal ini menilai karya Imam Syafi’i, ar-Risalah--berkaitan dengan ushul-fiqh-- bukanlah karya intelektual murni, tetapi lebih merupakan masalah politis. Mereka juga menuduh bila pikiran-pikiran yang dilontarkan Imam Syafi’i berkenaan dengan metodologi hukum Islam tak lebih dari sebuah upaya untuk mempertahankan hegemoni kaum Quraisy.
Usaha Sistematis
Ada beberapa poin yang perlu dicermati dari kritikan-kritikan yang dilontarkan oleh para penggagas liberalisme Islam terhadap Syafi’i. Tampak adanya usaha sistematis untuk mendiskreditkan ketokohan Imam Syafi’i.
Ulama ini memang bukan nabi yang bersifat ma’shum. Ia adalah manusia biasa, yang tentu saja bisa salah. Terlepas dari itu semua, usahanya dalam memformulasikan metodologi berpikir dalam hukum Islam sewajarnya mendapatkan apresiasi. Tanpa usaha gigihnya itu, mungkin hukum Islam hingga saat ini masih belum memiliki perangkat metodologi yang sempurna. Seorang pemikir Barat, NJ Coulson, dalam bukunya, A History of Islam Law, juga Joseph Schacht menilai usaha Syafi’i ini bukan hanya sistematisasi, tapi juga sebagai upaya rasionalisasi pemahaman terhadap hukum Islam.
Para pemikir Muslim kontemporer yang kami sebutkan di atas sepenuhnya sadar dengan posisi kuatnya posisi teologis teks wahyu dalam kehidupan seorang Muslim. Mereka juga sadar bahwa bila status teks keagamaan tetap seperti ini, maka sampai kapanpun proses pembaharuan yang mereka usung (baca: mensekulerkan hukum Islam) akan terus mendapat hambatan. Jadi, untuk mensukseskan program “pembaharuan” ini, langkah pertama yang mereka lakukan adalah mendekonstruksi posisi wahyu terlebih dahulu. Caranya dengan mereformulasi konsep wahyu itu sendiri.
Cara di atas dilakukan oleh Fazlur Rahman, Mohammad Sharur, Mohammad Arkoun, dan juga Nasr Hamid. Ucapan Nasr Hamid yang mengatakan, al-Qur`an adalah produk budaya” dan bisa bersifat relatif sebagaimana sifat manusia berubah, adalah dimaksudkan untuk itu.
Bertolak dari maksud di atas, kebanyakan para pemikir itu menekankan pentingnya pembaharuan ushul-fiqh dan fiqh (hukum Islam). Di antara mereka yang berusaha itu adalah Hasan Turabi. Turabi menilai ushul-fiqh tidak lagi relevan untuk sekarang ini, karena dibangun atas realitas masyarakat abad pertengahan, bukan atas keperluan dan kebutuhan masyarakat sekarang. Ushul-fiqh hanya sesuai untuk masyarakat tersebut.
Sama dengan Turabi, Fazlur Rahman juga mendesak agar metode penafsiran al-Qur`an yang dibakukan melalui ushul-fiqh segera dirombak. Menurutnya, al-Qur`an harus dipahami dalam konteks masyarakat ketika ia diturunkan.* (Bersambung, insya Allah)
Penulis adalah dosen di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor. Maraih PhD bidang Pemikiran Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM)
(2)
Hukum Islam: Antara Rigiditas dan Fleksibilitas
Secara umum, pembaharuan atau apa yang sering disebut dengan tajdid, bukanlah hal baru dalam Islam; ia bahkan sudah menjadi built-in-system dalam pemikiran Islam. Rasullullah sendiri sudah mewanti-wanti hal itu. Sabdanya: “Sesungguhnya Allah akan mengutus pada tiap pangkal abad seorang mujaddid yang akan memperbaharui agamaNya.”
Pembaharuan memang sudah berjalan sudah sejak dini lagi. Para ulama memperkirakan bahwa ia sudah berlangsung sejak abad pertama hijriyah. Ini terbukti dengan daftar pembaharu Muslim yang dibuat Ibn al-Athir dan al-Suyui dimana Umar bin Abd al-Aziz disebut sebagai pembaharu abad pertama Islam dan Imam Syafii abad kedua.
Fiqh memang perlu untuk selalu diperbaharui untuk merespon persoalan yang berkembang. Banyak masalah-masalah fiqh yang telah diperbaharui, khususnya dalam bidang ekonomi Islam. Isu seperti investasi waqaf, zakat profesi, dan lain-lain merupakan bukti bagimana fiqh merespon perkembangan masyarakat. Sebagaimana kehidupan manusia yang mempunyai elemen tetap dan tidak berubah, begitu juga fiqh. Ada beberapa bagian dalam fiqh yang tidak mungkin diubah dan diperbaharui, karena ia membentukbagian terpenting syariat Islam.
Ruang untuk berijtihad dalam fiqh sebenarnya masih terbuka lebar. Banyak masalah-masalah kontemporer yang sesungguhnya menantikan ijtihad-ijtihad segar. Tapi sayangnya pemikir Muslim liberal hanya berkutat pada isu-isu lama seperti poligami, hak warisan wanita, hukum hudud (potong tangan) atau qisas yang sesungguhnya tidak memberikan dampak besar dalam perubahan masyarakat Muslim hari ini.
Usuh fiqh sebenarnya mempunyai dinamikanya sendiri untuk memperbaharui diri. Sejak diformulasikan oleh Imam Syafii, usuh fiqh telah banyak mengalami perubahan dan pembaharuan. Ghazali juga telah memberikan sentuhan pembaharuannya dengan menjadikan mantiq sebagai bagian terpenting usuh fiqh. Begitu juga dengan Imam al-Syatibi. Syatibi dengan al-Muwafaqat telah memberikan dimensi baru dalam kajian usuh fiqh. Hingga hari ini al-Muwafaqat menjadi rujukan penting dalam usuh fiqh dan telah menarik minat banyak kalangan cendikiawan Muslim kontemporer.
Meskipun usuh fiqh telah mengalami perubahan disana-sini, usuh fiqh tetap berputar pada pusaran epistemologi Islam. Para ulama pembaharu atau liberal itu tetap menjadikan teks al-Quran dan Sunnah sebagai sumber otoritatif dan mendudukkan akal dibawah telunjuk keduanya.
Hukum Islam dan Maslahah
Banyak kalangan aktivis Islam liberal telah menggunakan teori maqasid Syatibi sebagai justifikasi terhadap penolakan hukum-hukum yang bersumberkan nas-nas al-Quran yang qat’i.
Para penolah hukum Islam ini berangggapan, yang penting bukanlah bentuk legal formalnya seperti yang dijelaskan diatas, tapi nilai esensi moralnya. Abdul Majid al-Najjar menyangkal pandangan ini. Menurutnya akar permasalahan disini sebenarnya terletak pada kesalahan kaum liberalis yang mencoba memisahkan antara maqsad (objektif) dan hukum yang menjadi wasilah (instrument) untuk tercapainya objektif tadi. Mereka melihat keduanya terpisah.
Padahal sesungguhnya mereka satu. Antara hukum dan objektif hukum merupakan satu ikatan yang tak terpisahkan. Apa yang diperintahkan Allah dengan pasti tentulah akan mendatangkan kebaikan, dan apa yang dilarang jelas akan menimbulkan kerusakan. Aksioma yang mengatakan dimana ada masalahah, disitu pasti ada shariah, sebagaimana kata Yusuf Qaradhawi tidak selalunya benar. Menurutnya lagi, aksioma itu seharunya berbunyi: haythuma wujida al-Shar fa thamma al-maslahah (dimana ada hukum syara di sana pasti ada maslahah) Ini karena terkadang apa yang kita anggap sebagai maslahah sebenarnya bukan maslahah, bisa jadi ia sudah menjadi maslahah yang diakategorikan mulghah (dibatalakan), seperti khamar (minuman yang memabukkan).
Pada keadaan seperti kasus ini sudah tentu syara tidak hadir. Akan tetapi ketika syariat ada, sudah pasti maslahah akan hadir disana, karena tidak mungkin Allah mensyariatkan sesuatu tanpa ada maslahahanya, meskipun terkadang akal kita tidak dapat menangkap dan memahami maslahah tersebut. Pada saat itulah keimanan dan keislaman kita diuji, apakah kita menerima dan melaksanakannya dengan jawaban atau sebaliknya samina wa asayna.
Fiqh Islam sebenarnya tidaklah sekaku yang dibayangkan sebagian orang. Fiqh Islam memiliki nilia fleksibilitasnya sendiri. Dia dapat mengadopsi dan beradaptasi dengan lingkungannya. Dan ini telah terbukti secara historis. Sepanjang empat belas abad, fiqh telah mengharungi bermacam ragam realitas sosial dan politik, dari Afrika hingga Asia, dari Mesir hingga Samosir. Namun fiqh tetap fiqh, ia masih utuh seperti ketika ia mula-mula lahir. Ini karena fiqh memiliki mekanismenya sendiri untuk menyesuaikan dirinya dengan lingkungan yang ada.
Dalam fiqh Islam dikenal kaedah yang sangat popular taghayyur al-aÍ-ahkam bi taghayyur al-azminah wa al-amkinah, (hukum berubah dengan perubahan masa dan tempat) dan Al Tsabit bi al Urf ka al Tsabit bi al Syar, (adat bisa menjadi hukum). Kaedah ini menunjukkan bahwa dimensi waktu dan tempat dapat mempengaruhi ketetapan hukum. Urf (kebiasaan masyarakat setempat) dapat dijadikan sandaran hokum dengan syarat ia tidak kontradiktif dengan syariat Islam, maksudnya teks eksplisit dalam al-Quran yang tidak mengandung multi interpretasi.
Ibn Abidin menegaskan: Urf yang bertentangan dengan nash tidak bisa menjadi pertimbangan.
Selanjutnya Ibn NajÊm juga mengatakan: Urf tidak bisa menjadi bahan pertimbangan pada persoalan yang ada ketetapan nash nya (al-manÎËÎ alayh). Oleh sebab itu, hukum haramnya ghibah dan dusta, wajibnya shalat, zakat, puasa, haramnya riba, hukum nikah dan talaq, hukum hudud dan qisas, rajam terhadap penzina, dan lain-lain yang oleh ulama dikategorikan qaÏÊ al-thubËt wa al-dilÉlah tidak bisa berubah, meskipun waktu dan tempat berubah.
Namun umumnya, kebanyakan kalangan liberalis terburu-buru alergi sebelum melihat sisi manfaatnya. Satu conoh kasus hudud karena dianggapnya tidak dapat mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Mari kita teliti lebih dalam. Setiap hukuman mempunyai tujuan ganda, pertama, untuk menciptakan keadilan bagi yang teraniaya dan disini diperlukan adanya prinsip retributive. Kedua, sebagai pelajaran bagi masyarakat banyak, atau selalu disebut dengan detterance.
Apa saja hukuman yang tidak setimpal dengan kejahatan yang dilakukan hanya akan menciptakan kekacauan yang lebih hebat. Sebagai contoh, jika keluarga yang terbunuh tidak merasa puas dengan hukuman yang dijatuhkan terhadap pembunuh maka akan timbul kekecewaan. Dan kekecewaan akan mendorong reaksi yang tidak rasional.
Orang tersebut mungkin akan melakukan balasan pembunuhan, mungkin terhadap si pelaku atau kepada keluarga terdekat si pembunuh. Apabila pihak yang terbunuh juga tidak merasakan keadilan, maka dia juga akan melakukan tindakan yang sama sehingga akan terjadilah proses cycling pembunuhan. Pada akhirnya akan menciptakan ketakutan di tengah-tengah masyarakat. Akan tetapi dengan hukum hudud, perasaan ketidakadilan tadi dapat dihindari, karena pihak yang dirugikan terpuaskan dengan hukuman yang dijatuhkan.
Apakah ada hukuman yang lebih kejam bagi si orang yang menciptakan huru-hara selain hukuman bunuh itu sendiri. Jadi dengan hukum hudud prinsip keadilan yang merupakan bagian penting dari objektif syariah telah terlaksana. Lantas kenapa golongan liberalis menolak hukuman hudud?
Sama halnya ketika kalangan aktifis gender menolak poligami. Apakah dengan diharamkannya poligami, disamakannya bagian warisan anak laki-laki dan perempuan, dihapuskannya hudud dan qisas, seperti yang diinginkan kalangan liberal, masyarakat Islam akan menjadi lebih terhormat dan dihargai, menjadi lebih maju dan berkembang?
Sudah lebih dua abad, semenjak kolonialisme, umat Islam membelakangkan hukum Islam, khususnya yang berhubungan dengan ruang publik. Sudah sejak lama, hukum hudud dan qisas tidak diterapkan tanpa harus ada reinterpretasi dan sejenisnya. Tapi nyatanya, tetap saja umat Islam terbelakang,mundur dan menjadi objek pemerasan.
Dalam Islam, fiqh mempunyai dwi fungsi, pertama sebagai hukum positif dan kedua sebagai standar moral.
Yang dimaksudkan sebagai hukum positif disini adalah bahwa fiqh berfungsi seperti hukum-hukum positif lain dalam mengatur kehidupan manusia. Ia mendapatkan legitimasi dari badan judikatif, yaitu mahkamah. Tapi perlu ditekankan bahwa tidak semua hukum-hukum fiqh mendapat justifikasi dan legitimasi mahkamah. Masalah hukum mubah, makruh, bahkan mengenai hukum wajib dan harampun tidak bisa sepenuhnya dibawah jurisdiksi mahkamah. Disini fiqh lebih merupakan etika atau moral. Jadi, disini fiqh memainkan fungsi double, sebagai hukum positif dan moral. Aspek inilah yang menurut Daud Bakar yang membedakan secara prinsip konsep hukum Islam dengan konsep hukum di Barat. (Mohd Daud Bakar, Hukum Islam Antara Prinsip Syariah dan Perbendaharaan Fiqh, Kuala Lumpur).
Penutup
Demikianlah wacana pembaharuan hukum Islam (sekularisasi hukum Islam) dan usuh fiqh sedang marak diperdebatkan para cendikiawan dan pemikir Muslim hari ini. Berbagai tawaran diajukan untuk dijadikan alternatif kepada usuh fiqh yang ada. Karena banyak menilai bahwa usuh fiqh yang ada mengandung banyak kelemahan yang prinsipil.
Sayangnya, sampai detik ini, belum satupun tawaran metodologis itu teruji secara metodologis pula. Solusi dan usulan mereka masih terlalu umum dan kabur, belum menampakkan satu bentuk yang konkrit. Yang adanya hanya luapan-luapan kritik atas pikiran-pikiran ulama klasik. Sementara mereka sendiri masih belum mampu melampaui prestasi para ulama ushuliyyun di masa lalu.
Belum satu pun diantara mereka yang mampu menghasilkan karya usuh fiqh yang mumpuni. Tawaran-tawaran pembaruan usuh fiqh perlu kita sikapi dengan kritis, tidak apriori. Tetapi, jangan sampai kita terburu-buru membuang khazanah klasik keilmuan Islam, hanya karena melihat ada yang baru. Apalagi, terbukti, tawaran-tawaran pembaruan epistemology termasuk bidang usuh fiqh juga tidak terlepas dari hegemoni pemikiran Barat yang berakar pada worldview sekular-liberal. Wallahu alam.*
Oleh: Nirwan Syafrin
Penulis adalah dosen di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor. Maraih PhD bidang Pemikiran Islam di International Institute of Islamic Thought and Civilization International Islamic University Malaysia (ISTAC-IIUM)
Rep: Anonymous
Editor: Cholis Akbar
sumber :
1. http://www.hidayatullah.com/read/2013/11/19/7378/sekularisasi-hukum-islam-1.html, akses tgl 21/11/2013.
2. http://www.hidayatullah.com/read/2013/11/20/7400/sekularisasi-hukum-islam-2.html, akses tgl 21/11/2013.
{ 0 comments... read them below or add one }
Post a Comment