PENJAGAAN dan kehati-hatian yang dimiliki Umar bin Khattab ra. saat menjadi pemimpin sungguh luar biasa. Keadilan, kedermawanan, dan ketulusan kepada rakyatnya, ternyata sangatlah cocok untuk dijadikan sebuah teladan yang baik bagi para pemimpin di Indonesia. Di tengah-tengah kesibukannya dalam mengayomi rakyat, beliau berkata “Siapa yang ingin mengambilnya (kepemimpinan) dengan semua isinya? Aku ingin sekali lolos darinya, tak ada tanggung jawab dan hak bagiku.”
Dari tawaran tersebut, diceritakan, bahwa Umar memiliki rasa takut yang luar biasa dari melalaikan kepentingan rakyatnya. Sehingga, ia tidak bisa tidur kecuali sekejap. Dalam keadaan duduk beliau berkata, “Jika aku tidur di siang hari, maka aku telah melalaikan hak-hak rakyat. Jika aku tidur di malam hari, aku melalaikan diriku. Lalu, bagaimana aku akan tidur pada dua waktu ini?”
Dari ungkapan Umar di atas, tidaklah jarang dari kebanyakan para pemimpin kita yang “tertipu” dan tidak menyangka bahwa dirinya telah berada di jalan penguasa yang adil, benar, dan bijaksana. Bahkan mereka berbondong-bondong untuk mencalonkan dirinya sebagai seorang pemimpin yang mampu mengubah segalanya, termasuk memakmurkan rakyat. Jika memang punya tujuan yang sangat mulia itu, tentu tidak ada masalah. Karena, kita akan memiliki pemimpin yang paling giat dan bijaksana dalam menegakkan kebenaran, keadilan, dan kebijaksanaan.
Mengenai masa depan Indonesia, tentu kita memerlukan seorang pemimpin yang memiliki kriteria-kriteria pokok yang menyegarkan, menyadarkan, berani ambil resiko, berani tidak populer, bukan penakut, jujur, dan punya hati. Jati diri seperti inilah yang didamba-dambakan oleh rakyat. Namun jika sebaliknya, kekuasaan yang cenderung koruptif, yakni nafsu membesar sekaligus mempertahankan kekuasaan. Maka kekacauan dan kecemasan inilah yang kita hadapi sekarang. Oleh sebab itu, perlu adanya perubahan sedikit demi sedikit. Karena, perubahan yang mendadak mudharatnya lebih besar dari pada manfaatnya untuk rakyat.
Tuhan menciptakan umat manusia dalam jumlah banyak tentu dengan bibit-bibit pemimpin yang banyak juga. Tidaklah mungkin Allah menghendaki pemimpin tunggal sepanjang masa. Tetapi, di manakah benih pemimpin yang berjiwa Tuhan itu?
Mahalnya ketulusan
Ketika pemimpin mulai enteng dan menyatakan “semua diserahkan dalam proses hukum” dan mengabaikan suara rakyat, saat itu hilanglah kekuasaan etikanya. Pernyataan ini menegaskan sikap tidak masuk akal, karena tidak mengatakan apa yang sebenarnya. Artinya, pernyataan hanya sekedar bentuk komunikasi basa-basi yang tidak menyampaikan kenyataan.
Ketulusan , kebijakan, dan keadilan hanya akrab dibicarakan dalam aora agama. Berbeda dengan kebohongan dan keluguan, kebusukan yang seharusnya tampak mendesak ditampilkan, tetapi malah tertutup oleh kepercayaan dan kebenaran yang berlebihan. Akhirnya yang terjadi, praktik politik masa kini identik dengan kebohongan. Sehingga, dengan mudahnya, kebohongan tergelincir lalu diamini dengan kepentingan diri-sendiri.
Tak hanya itu, sidang pengadilan tidak lagi berfungsi sebagai proses peradilan, tetapi menjadi tempat pembesaran dan pelanggengan kekuasaan. Ditambah lagi kekuasaan sebagai lahan mengumbar nafsu ketamakan, kebohongan pun dianggap sebagai kebenaran. Sehingga, keluguan dan kejujuran menjadi barang mewah, dan kebenaran menjadi sebuah kemustahilan. Pelan tetapi pasti, ketulusan, kebajikan, dan keadilan itu mulai ditinggalkan. Sebab yang dikembangkan diperpolitikan dengan penuh rekayasa.
Dari kebobrokan yang sudah mendarah daging di negara kita ini, tentu sangat diperlukan sosok pemimpin yang seperti Umar bin Khattab demi menghilangkan kemungkaran dan menghapus bekasnya serta tidak memberi kesempatan bagi seorangpun untuk menampakkan perbuatan busuknya. Jika ada yang menampakkannya walaupun sedikit, hendaklah langsung ditegur dengan keras dan dihukum dengan hukuman yang setimpal sesuai yang diharuskan oleh syariat yang mulia atau kebijakan penguasa (UURI).
Jika kondisi bangsa yang superbahaya ini dapat teratasi oleh datangnya pemimpin baru, insya Allah negara ini akan selalu berhati nyaman. Tapi jika sebaliknya, dan diterus-teruskan, potensi gagal tanpa sadar pasti terpupuk walau dibantah. Itulah perlunya selalu ada yang “menjadi kumbang untuk menyengat kuda Athena yang maunya tidur saja,” (Socrates).
Bila nurani kita masih berfungsi dan bekerja dengan baik, akal tentunya juga ikut tertata rapi. Dengan nurani dan akal itulah kita dapat terdorong untuk mengembalikan ketulusan, kebijakan, dan keadilan. Namun, yang kita saksikan dewasa ini adalah sebuah unjuk rasa ketidakadilan yang sangat meluas.
Di sinilah, kita semua perlu memperbaiki diri. Merenunglah, bahwa di dunia yang fana ini, segala sesuatu itu ada batasnya. Dalam bahasa Al-Quran, batas itu disebut ajal. Hanya saja, dalam menghampiri batas atau ajal itu ada dua yang dapat diambil. Yaitu, yang baik dan yang buruk. Kalau kita memilih yang baik, tentu akan sampai pada akhir yang baik. Demikian pula sebaliknya.
Sungguh Allah Maha Penyayang, yang selalu memberikan kesempatan kepada semua hamba-Nya untuk memperbaiki diri. Mengapa seorang pemimpin yang berperilaku bejat, koruptor, dan jahat terhadap rakyatnya masih diberi kenyamanan dan umur panjang? Tak lain, karena Allah memberi kesempatan untuk bertaubat. Namun, bila kesempatan panjang itu tidak dimanfaatkan, barulah Allah membuat perhitungan yang sangat dahsyat. Wallahu a’lam, hanya Allah saja yang mengetahui, apa yang bakal terjadi. []
Oleh Ach Fawaid, Pengamat Keagamaan, aktif di Kajian Malam Jum’at Darlingan di Garawiksa Institute Yogyakarta.
Redaktur: Saad Saefullah
sumber : http://www.islampos.com/merindukan-pemimpin-seperti-umar-89198/, akses tgl 07/12/2013.
Dari tawaran tersebut, diceritakan, bahwa Umar memiliki rasa takut yang luar biasa dari melalaikan kepentingan rakyatnya. Sehingga, ia tidak bisa tidur kecuali sekejap. Dalam keadaan duduk beliau berkata, “Jika aku tidur di siang hari, maka aku telah melalaikan hak-hak rakyat. Jika aku tidur di malam hari, aku melalaikan diriku. Lalu, bagaimana aku akan tidur pada dua waktu ini?”
Dari ungkapan Umar di atas, tidaklah jarang dari kebanyakan para pemimpin kita yang “tertipu” dan tidak menyangka bahwa dirinya telah berada di jalan penguasa yang adil, benar, dan bijaksana. Bahkan mereka berbondong-bondong untuk mencalonkan dirinya sebagai seorang pemimpin yang mampu mengubah segalanya, termasuk memakmurkan rakyat. Jika memang punya tujuan yang sangat mulia itu, tentu tidak ada masalah. Karena, kita akan memiliki pemimpin yang paling giat dan bijaksana dalam menegakkan kebenaran, keadilan, dan kebijaksanaan.
Mengenai masa depan Indonesia, tentu kita memerlukan seorang pemimpin yang memiliki kriteria-kriteria pokok yang menyegarkan, menyadarkan, berani ambil resiko, berani tidak populer, bukan penakut, jujur, dan punya hati. Jati diri seperti inilah yang didamba-dambakan oleh rakyat. Namun jika sebaliknya, kekuasaan yang cenderung koruptif, yakni nafsu membesar sekaligus mempertahankan kekuasaan. Maka kekacauan dan kecemasan inilah yang kita hadapi sekarang. Oleh sebab itu, perlu adanya perubahan sedikit demi sedikit. Karena, perubahan yang mendadak mudharatnya lebih besar dari pada manfaatnya untuk rakyat.
Tuhan menciptakan umat manusia dalam jumlah banyak tentu dengan bibit-bibit pemimpin yang banyak juga. Tidaklah mungkin Allah menghendaki pemimpin tunggal sepanjang masa. Tetapi, di manakah benih pemimpin yang berjiwa Tuhan itu?
Mahalnya ketulusan
Ketika pemimpin mulai enteng dan menyatakan “semua diserahkan dalam proses hukum” dan mengabaikan suara rakyat, saat itu hilanglah kekuasaan etikanya. Pernyataan ini menegaskan sikap tidak masuk akal, karena tidak mengatakan apa yang sebenarnya. Artinya, pernyataan hanya sekedar bentuk komunikasi basa-basi yang tidak menyampaikan kenyataan.
Ketulusan , kebijakan, dan keadilan hanya akrab dibicarakan dalam aora agama. Berbeda dengan kebohongan dan keluguan, kebusukan yang seharusnya tampak mendesak ditampilkan, tetapi malah tertutup oleh kepercayaan dan kebenaran yang berlebihan. Akhirnya yang terjadi, praktik politik masa kini identik dengan kebohongan. Sehingga, dengan mudahnya, kebohongan tergelincir lalu diamini dengan kepentingan diri-sendiri.
Tak hanya itu, sidang pengadilan tidak lagi berfungsi sebagai proses peradilan, tetapi menjadi tempat pembesaran dan pelanggengan kekuasaan. Ditambah lagi kekuasaan sebagai lahan mengumbar nafsu ketamakan, kebohongan pun dianggap sebagai kebenaran. Sehingga, keluguan dan kejujuran menjadi barang mewah, dan kebenaran menjadi sebuah kemustahilan. Pelan tetapi pasti, ketulusan, kebajikan, dan keadilan itu mulai ditinggalkan. Sebab yang dikembangkan diperpolitikan dengan penuh rekayasa.
Dari kebobrokan yang sudah mendarah daging di negara kita ini, tentu sangat diperlukan sosok pemimpin yang seperti Umar bin Khattab demi menghilangkan kemungkaran dan menghapus bekasnya serta tidak memberi kesempatan bagi seorangpun untuk menampakkan perbuatan busuknya. Jika ada yang menampakkannya walaupun sedikit, hendaklah langsung ditegur dengan keras dan dihukum dengan hukuman yang setimpal sesuai yang diharuskan oleh syariat yang mulia atau kebijakan penguasa (UURI).
Jika kondisi bangsa yang superbahaya ini dapat teratasi oleh datangnya pemimpin baru, insya Allah negara ini akan selalu berhati nyaman. Tapi jika sebaliknya, dan diterus-teruskan, potensi gagal tanpa sadar pasti terpupuk walau dibantah. Itulah perlunya selalu ada yang “menjadi kumbang untuk menyengat kuda Athena yang maunya tidur saja,” (Socrates).
Bila nurani kita masih berfungsi dan bekerja dengan baik, akal tentunya juga ikut tertata rapi. Dengan nurani dan akal itulah kita dapat terdorong untuk mengembalikan ketulusan, kebijakan, dan keadilan. Namun, yang kita saksikan dewasa ini adalah sebuah unjuk rasa ketidakadilan yang sangat meluas.
Di sinilah, kita semua perlu memperbaiki diri. Merenunglah, bahwa di dunia yang fana ini, segala sesuatu itu ada batasnya. Dalam bahasa Al-Quran, batas itu disebut ajal. Hanya saja, dalam menghampiri batas atau ajal itu ada dua yang dapat diambil. Yaitu, yang baik dan yang buruk. Kalau kita memilih yang baik, tentu akan sampai pada akhir yang baik. Demikian pula sebaliknya.
Sungguh Allah Maha Penyayang, yang selalu memberikan kesempatan kepada semua hamba-Nya untuk memperbaiki diri. Mengapa seorang pemimpin yang berperilaku bejat, koruptor, dan jahat terhadap rakyatnya masih diberi kenyamanan dan umur panjang? Tak lain, karena Allah memberi kesempatan untuk bertaubat. Namun, bila kesempatan panjang itu tidak dimanfaatkan, barulah Allah membuat perhitungan yang sangat dahsyat. Wallahu a’lam, hanya Allah saja yang mengetahui, apa yang bakal terjadi. []
Oleh Ach Fawaid, Pengamat Keagamaan, aktif di Kajian Malam Jum’at Darlingan di Garawiksa Institute Yogyakarta.
Redaktur: Saad Saefullah
sumber : http://www.islampos.com/merindukan-pemimpin-seperti-umar-89198/, akses tgl 07/12/2013.
{ 0 comments... read them below or add one }
Post a Comment