Search

Pengennya Sih Nikah Sama Ikhwan, Tapi...

Posted by Zam on Sunday, March 31, 2013


Banyak sekali, bahkan hampir semua akhwat ingin juga mendapat suami seorang ikhwan. Tidak terkecuali diriku. Tapi apakah semudah itu? Ternyata tidak, setelah itu kualami sendiri. Maka bersyukurlah bagi saudari-saudariku yang telah mendapatkan seorang ikhwan.

Di awal-awal mengikuti taklim pekanan, persepsi yang ada di otak bahwa pernikahan adalah pemetaan dakwah. Wow, aku setuju sekali. Siapapun deh, asal ikhwan dan itu bisa memperkuat dakwah ini. Begitu lama maindset itu bersemayam, hingga... giliranku tiba. Keinginan untuk memperluas dan memperkokoh dakwah ini dengan membentuk keluarga dakwah. Hmmmm... apakah terlalu idealis?

Setelah sekian lama ternyata banyak hal yang mengagetkan maindset ku yang ketiduran itu. Teringat kisah shahabiyah yang dituturkan dari lisan murabbiyahku saat itu. Shahabiyah yang maharnya begitu agung, keislaman suaminya. Hingga Tsabit –seorang perawi hadits- meriwayatkan dari Anas, "Sama sekali aku belum pernah mendengar seorang wanita yang maharnya lebih mulia dari Ummu Sulaim, yaitu keislaman suaminya." Selanjutnya mereka menjalani kehidupan rumah tangga yang damai dan sejahtera dalam naungan cahaya Islam. Kesekian kali kisah Ummu Sulaim itu kudengar dan baru kali itu kufikirkan, bisakah aku sepertinya? Allah... sulit sekali.

Umumnya seorang akhwat juga akan mencari pendamping hidup yang juga bisa menguatkannya dalam jalan dakwah sekaligus yang bisa membimbingnya dan merengkuh perjuangan bersama. Apakah dia rela jika dia pun harus berjuang lebih untuk merengkuh suaminya agar bersama di jalan dakwah yang ia jalani hingga satu frekuensi dengannya? Serasa memulai lagi dari nol. Tapi pun bukan suatu kemustahilan jika dakwah mereka juga bisa jauh lebih melejit dibandingkan perjuangan pasangan ikhwan akhwat. Laksana kisah suami Ummu Sulaim – Abu Thalhah yang begitu luar biasa dalam dakwahnya.

Tapi lagi-lagi kukatakan itu sulit, bagi seorang aku yang mungkin amalannya jauh sekali dibandingkan Ummu Sulaim. Realita hidup tak sesederhana itu. Tapi kisah Ummu Sulaim patut dijadikan penguat. Mungkin di saat-saat seperti itu seorang akhwat sedang diuji keimanannya -percaya dan yakin– akan janji-janji Allah.

الْخَبِيثَاتُ لِلْخَبِيثِينَ وَالْخَبِيثُونَ لِلْخَبِيثَاتِ ۖ وَالطَّيِّبَاتُ لِلطَّيِّبِينَ وَالطَّيِّبُونَ لِلطَّيِّبَاتِ ۚ أُولَٰئِكَ مُبَرَّءُونَ مِمَّا يَقُولُونَ ۖ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَرِزْقٌ كَرِيمٌ
“Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula). Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezeki yang mulia (surga).” (QS. An Nur:26)

Tapi apa pun itu, tulisan ini kuakhiri dengan mengingat kembali kekuatan “mimpi”. Karena mimpi hidupku sudah setengah jalan kulalui dan tak ada kata penyesalan karena setiap hal dengan maksimal (all out). Kini tinggal setengah jalan lagi hidupku dan tak akan kusiakan. Dengan siapa pun itu, harus mempunyai berjuta planning. Agar jika sekali terjatuh, kau punya kemungkinan-kemungkinan lain yang bisa kau rengkuh. Maka, bermimpilah tentang keluarga, masyarakat, dan negara yang ingin kau bentuk karena mimpimu itu bukan hal yang keliru. [Gresia Divi]

{ 0 comments... read them below or add one }

Post a Comment