Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Tirmidzi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya.” Itu artinya, sebaik-baik muslim adalah muslim yang belajar al-Qur’an dan mengajarkannya. Tak memandang usia, waktu dan tempat. Dimanapaun kita berada, kapanpun dan berapapun usia kita, belajar al-Qur’an adalah prioritas utama sebelum kita mempelajari ilmu lain seperti matematika, fisika, dan ilmu dunia lainnya.
Hal ini juga berlaku pada wargra Srunen. Sebuah desa yang teletak sekitar 3 Km dari Merapi, tepatnya di daerah Cangkringan Sleman Yogyakarta. Cerita ini dimulai pada tahun 2010 saat terjadi erupsi Merapi. Sebagian masyarakat mengungsi ke Islamic Centre Yogyakarta. Ada sekitar 150 warga yang mengungsi ke sana, mulai bayi sampai mbah-mbah. Setelah dimusyawarahkan tim relawan Merapi IC akhirnya diputuskan untuk mengisi salah kegiatan pengungsi dengan belajar ngaji bersama dengan Tahsin Metode Qira’ati. Waduh, saya ndak bisa ngebayangkan waktu itu kalau ibu-ibu atau mbah-mbah diajar dengan metode itu. Saya yang waktu itu belum bisa ikut mengajar (karena belum taskhih) cuman bisa geleng-geleng kepala melihat teman-teman dengan sabar mengajar ibu-ibu bahkan mbah-mbah.
Selang beberapa bulan kemudian, setelah Merapi tak lagi beraksi, para pengungsi mulai kembali ke rumah semi permanen (shelter) yang didirikan oleh sebuah lembaga pertelevisian swasta. Sejak saat itulah saya mulai ikut mengajar setiap Selasa dan Kamis bersama tim Asma Amanina. Saya pun akhirnya merasakan sendiri tatkala membimbing mbah-mbah yang berusaha melafalkan huruf “fa” yang mereka lafalkan menjadi “pa”, “dlo” menjadi “lo”. Berulang kali saya mengajarkan huruf-huruf itu, mengulang-ulang huruf-huruf yang sama. Namun hasilnya tetap sama. Sama seperti minggu-minggu sebelumnya.
Sampai akhirnya satu tahun kemudian. Kami masih dalam perjuangan yang sama. Mengajar ibu-ibu dan mbah-mbah yang kulit tangannya sudah mulai keriput, matanya yang sudah tak lagi jelas untuk melihat, gigi-giginya yang mulai tanggal satu persatu hingga tersisa beberapa saja mengisi sela-sela gusi mereka yang sudah mulai menghitam. Yang membuat mereka sulit membaca, melafalkan dan mengingat huruf hijaiyah. Hingga waktu itu saya harus mengulang berkali-kali membimbing melafalkannya. Tanpa memperdulikan tiwasgas sebagai prinsip yang dipakai dalam belajar mengajar Qira’ati. Bagi saya yang penting mereka sudah mengenal huruf-huruf hijaiyah itu sudah hal yang luar biasa.
Dari sini ada satu hal yang dapat kita jadikan pelajaran bersama yaitu tekad, semangat dan kesabaran mereka. Tekad dan semangat untuk tholabul ‘ilmi, semangat untuk bisa membaca al-Qur’an. Meski setahun sudah mereka bertahan di jilid satu. Meski setahun sudah mereka hanya belajar membaca a, ba, melafalkan alif, ba berulang-ulang. Bahkan dalam satu tahun itu ada yang baru sampai beberapa halaman saja. Itupun ada yang lupa ingat. Mereka yang dengan keterbatasan baik secara usia, fisik maupun materi, tapi tetap semangat dan sabar untuk terus belajar al-Qur’an. Keinginan dan tekad mereka untuk bisa melafalkan huruf-huruf bengkok itu begitu kuat. Keinginan untuk dapat membaca al-Qur’an lebih baik, keinginan untuk dapat lebih dekat dengan al-Qur’an dan keinginan untuk menjadi sebaik-baik manusia seperti yang disabdakan Rasulullah.
Lantas bagaimana dengan kita? Kita dengan segala kecukupan, seberapa besar usaha kita untuk memperbaiki bacaan Qur’an kita? Mampukah kita sesemangat mereka? Mampukah kita sesabar mereka yang dalam satu tahun hanya belajar melafalkan huruf alif, ba’. Dan mampukah kita setegar mereka? Mereka dengan tekad dan semangatnya tak pernah malu untuk belajar ngaji dan memperbaiki bacaan bersama kami yang usia kami jauh lebih muda dari mereka.
Waallahu a’lam bishshowab. Semoga ini dapat menjadi bahan renungan kita bersama. [Ukhtu Emil]
Hal ini juga berlaku pada wargra Srunen. Sebuah desa yang teletak sekitar 3 Km dari Merapi, tepatnya di daerah Cangkringan Sleman Yogyakarta. Cerita ini dimulai pada tahun 2010 saat terjadi erupsi Merapi. Sebagian masyarakat mengungsi ke Islamic Centre Yogyakarta. Ada sekitar 150 warga yang mengungsi ke sana, mulai bayi sampai mbah-mbah. Setelah dimusyawarahkan tim relawan Merapi IC akhirnya diputuskan untuk mengisi salah kegiatan pengungsi dengan belajar ngaji bersama dengan Tahsin Metode Qira’ati. Waduh, saya ndak bisa ngebayangkan waktu itu kalau ibu-ibu atau mbah-mbah diajar dengan metode itu. Saya yang waktu itu belum bisa ikut mengajar (karena belum taskhih) cuman bisa geleng-geleng kepala melihat teman-teman dengan sabar mengajar ibu-ibu bahkan mbah-mbah.
Selang beberapa bulan kemudian, setelah Merapi tak lagi beraksi, para pengungsi mulai kembali ke rumah semi permanen (shelter) yang didirikan oleh sebuah lembaga pertelevisian swasta. Sejak saat itulah saya mulai ikut mengajar setiap Selasa dan Kamis bersama tim Asma Amanina. Saya pun akhirnya merasakan sendiri tatkala membimbing mbah-mbah yang berusaha melafalkan huruf “fa” yang mereka lafalkan menjadi “pa”, “dlo” menjadi “lo”. Berulang kali saya mengajarkan huruf-huruf itu, mengulang-ulang huruf-huruf yang sama. Namun hasilnya tetap sama. Sama seperti minggu-minggu sebelumnya.
Sampai akhirnya satu tahun kemudian. Kami masih dalam perjuangan yang sama. Mengajar ibu-ibu dan mbah-mbah yang kulit tangannya sudah mulai keriput, matanya yang sudah tak lagi jelas untuk melihat, gigi-giginya yang mulai tanggal satu persatu hingga tersisa beberapa saja mengisi sela-sela gusi mereka yang sudah mulai menghitam. Yang membuat mereka sulit membaca, melafalkan dan mengingat huruf hijaiyah. Hingga waktu itu saya harus mengulang berkali-kali membimbing melafalkannya. Tanpa memperdulikan tiwasgas sebagai prinsip yang dipakai dalam belajar mengajar Qira’ati. Bagi saya yang penting mereka sudah mengenal huruf-huruf hijaiyah itu sudah hal yang luar biasa.
Dari sini ada satu hal yang dapat kita jadikan pelajaran bersama yaitu tekad, semangat dan kesabaran mereka. Tekad dan semangat untuk tholabul ‘ilmi, semangat untuk bisa membaca al-Qur’an. Meski setahun sudah mereka bertahan di jilid satu. Meski setahun sudah mereka hanya belajar membaca a, ba, melafalkan alif, ba berulang-ulang. Bahkan dalam satu tahun itu ada yang baru sampai beberapa halaman saja. Itupun ada yang lupa ingat. Mereka yang dengan keterbatasan baik secara usia, fisik maupun materi, tapi tetap semangat dan sabar untuk terus belajar al-Qur’an. Keinginan dan tekad mereka untuk bisa melafalkan huruf-huruf bengkok itu begitu kuat. Keinginan untuk dapat membaca al-Qur’an lebih baik, keinginan untuk dapat lebih dekat dengan al-Qur’an dan keinginan untuk menjadi sebaik-baik manusia seperti yang disabdakan Rasulullah.
Lantas bagaimana dengan kita? Kita dengan segala kecukupan, seberapa besar usaha kita untuk memperbaiki bacaan Qur’an kita? Mampukah kita sesemangat mereka? Mampukah kita sesabar mereka yang dalam satu tahun hanya belajar melafalkan huruf alif, ba’. Dan mampukah kita setegar mereka? Mereka dengan tekad dan semangatnya tak pernah malu untuk belajar ngaji dan memperbaiki bacaan bersama kami yang usia kami jauh lebih muda dari mereka.
Waallahu a’lam bishshowab. Semoga ini dapat menjadi bahan renungan kita bersama. [Ukhtu Emil]
{ 0 comments... read them below or add one }
Post a Comment