Search

Anis Matta: Makna Kearifan

Posted by Zam on Saturday, March 9, 2013


Kearifan itu kalau kita cari kata Arabnya, lebih tepat sebenarnya menggunakan kata hikmah. Walaupun, kata irfan di dalam bahasa Arab juga relatif sama artinya dengan hikmah. Jadi kalau kita mengatakan al-‘arifu atau al-hakiim, kira-kira maknanya sama. Kalau kita berbicara al-hikmatu wal-irfan, kira-kira artinya juga sama.

Kalau kita mau mencari definisi tentang hikmah itu ada di dalam definisi ushul fikih. Di dalam kitab-kitab ushul disebutkan, al-hikmatu hiya al-atsarul ladzii yatarattabu ‘ala fi’li syai’i au tarkih. Hikmah itu adalah dampak yang timbul dari mengerjakan sesuatu atu meninggalkan sesuatu. Ulama-ulama membedakan antara kata hikmah, karena ini sering bias, dengan istilah lain yakni illat. Illat itu adalah sebab kita melakukan sesuatu, alasan kita melakukan sesuatu. Atau, sebab sesutau itu dinyatakan halal atau haram.

Contoh hikmah itu dalam terapan ushulnya, misalnya, innash shalata tanha ‘anil fakhsyaa’i wal munkar. Jadi kalau kita melaksanakan shalat secara benar, maka dampak yang ditimbulkannya adalah mencegah kita dari melakukan kemungkaran atau sesuatu yang keji. Kalau illat, sebab sesuatu itu dilakukan, biasanya menjelaskan mengapa hukum itu jatih seperti itu, halal atau haram. Dan hukum-hukum itu ada yang dijelaskan illat-nya dan ada yang tidak.

Misalnya, mengapa babi diharamkan. Itu tidak ada penjelasan tentang illat-nya. Haramnya haram mutlak. Misalnya lagi kalau kita lihat kenapa zakat itu diwajibkan, itu ada illat-nya. Tetapi kalau kita melaksanakan zakat kemudian muncul dampak sosial lainnya, itu disebut hikmah. Saya mau menggarisbawahi kata dampak. Jadi perkataan kita itu berdampak, perbuatan kita itu berdampak. Seseorang yang disebut arif atau disebut bijak, itu adalah yang memikirkan dampak dari perkataannya atau perbuatannya.

Dampak itu ada dua jenisnya dari segi waktu. Yang pertama dampak jangka pendek. Yang kedua jangka panjang. Ulama-ulama kita mengatakan, ini ada kata-kata yang sejenis: hakim, arif dan aqil. Tiga kata itu sejenis, perbedaannya tipis dalam terminologi Arabnya. Ulama-ulama kita mengatakan, siapa yang disebut orang yang berakal: Al-Aqilu, andharun naasu fil awaaqid. Orang yang berakal itu adalah orang yang paling jauh pandangannya tentang akibat-akibat dari segala sesuatu. Jadi yang memikirkan dampak jangka panjang dari setiap tindakannya itu. Jadi kalau kita melakukan ini sekarang, ini akan ada dampaknya begini, begini, begini, dan seterusnya.

Jadi, ikhwah sekalian, yang kita maksud dengan kearifan, atau hikmah, atau keberakalan adalah kita mengontrol tindakan kita pertama kali bukan pada tindakannya tetapi pikirannya. Dengan mengontrol tindakan pada pikirannya itu maka kita memikirkan segala tindakan yang akan kita lakukan sebelum kita benar-benar melakukannya.

Di dalam terapannya, sering kali manusia seorang diri itu tidak pernah benar-benar bisa mendefinisikan apakah dampak dari perbuatannya itu baik atau buruk. Atau apakah perbuatannya itu dampak baiknya bertahan sejenak kemudian dampak buruk datang sesudahnya. Manusia seorang diri itu mengalami pergulatan di dalam dirinya dengan unsur subyektifitas. Misalnya kalau Anda ingin menikah. Begitu Anda tertarik secara fisik, lalu kita mulai berpikir apakah menikah dengan perempuan ini baik bagi masa depan saya atau tidak. Apakah perempuan ini akan jadi problema bagi saya atau solusi bagi saya. Dan tidak mungkin kita bertanya kepada calon istri, “apakah kamu ini problem atau solusi?” Kecuali kalau ada keterusterangan yang tinggi kita bisa meraba-raba. Tetapi kita selalu mengalami bias. Begitu secara fisik kita tertarik, biasanya kita mengalami bias subyektifitas itu.

Misalnya ada lagi, orang ini pernah melukai Anda. Menzalimi Anda. Suatu waktu Anda ada di dalam power dan mungkin punya kekuatan untuk membalas orang ini. Bias dendam itu ada. Dan mungkin kita mendapatkan pembenaran jangka pendek untuk melakukan balas dendam. Nah, biasanya kita mengalami bias subyektifitas seperti ini.

Di dalam banyak hal, terutama ketika pilihan-pilihan tindakan itu banyak, kita pasti mengalami bias. Misalnya waktu Anda memilih jurusan, bias subyektifitas itu banyak. Atau kita memilih pekerjaan. Bias subyektifitas itu banyak. waktu pilihan-pilihan itu banyak, biasanya kita punya malasah tentang subyektifitas. Biasanya karena efek subyektifitas ini, pilihan kita atas tindakan-tindakan itu seringkali tidak tepat. Dan karena ketidaktepatan itu, maka dampaknya akan muncul kemudian. Beberapa waktu kemudian baru kita sadar bahwa ternyata pilihan ini salah.

Itu sebabnya, ikhwah sekalian, Allah Subhanahu wa Ta’ala menderivasi kembali makna keberakalan, makna kearifan ini di dalam implementasinya. Allah Subhawahu wa Ta’ala mengatakan, “alladziina yastami’uuna qaula fayattabi’uuna ahsana. Ulaa-ika hum ulul albab.” Orang-orang yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik dari perkataan itu, mereka itulah yang disebut ulul albab. Orang yang berakal.

Jadi, faktor utama yang membantu kita berakal, menjadi arif, itu adalah kebiasaan mendengar. Bukan kebiasaan bicara. Itulah hikmahnya mata kita dua, telinga kita dua, mulut kita satu. Dua kali mendengar, satu kali bicara. Kalau ditambah, dua kali mendengar, dua kali melihat, baru satu kali bicara.

Karena itu ada pepatah juga yang mengatakan, ash shomtu hikmatun waqaliilun fa’iluha. Diam itu adalah kearifan, tetapi sedikit sekali orang yang bisa melakukannya. Jadi jika Anda ingin menjadi arif, latihan pertamanya adalah kontrol mulut. Biasakan untuk tidak banyak bicara. Dan jika Anda harus bicara, pastikan bahwa yang keluar itu emas. Paling sedikit, perak. Paling sedikit lagi, perunggu. Tapi yang pasti, jangan racun. Itu latihan pertamanya.

Anda pasti punya masalah, sekarang kita hidup di dunia ekstrovert. Sekarang ini kalau Anda mau eksis Anda harus harus sangat ekstovert. Orang-orang introvert seperti tidak punya tempat di dunia kita sekarang ini. Padahal juga tidak demikian. Sebagian besar pemimpin besar di dunia itu, introvert pada dasarnya. Cuma, ini penelitian yang bagus buat antum semuanya, coba cari di internet bagaimana eksis sebagai intorvert di dunia yang sangat ekstrovert. Search di internet, insya Allah banyak buku yang keluar di tema itu. Supaya kita mengetahui bahwa makna dari diam itu, pesan ini benar adanya. Ini adalah kebenaran yang abadi. ash shomtu hikmatun waqaliilun fa’iluha.(bersambung)

{ 0 comments... read them below or add one }

Post a Comment