Search

Jale dan Isu Miring tentang Majalah TEMPO

Posted by Zam on Sunday, November 24, 2013

Semalam saya terkesiap membaca sebuah link tulisan yang dikirim seorang kawan melalui Blackberry Messenger. Isinya tentang ulah petinggi majalah TEMPO dan perusahaan jasa riset KataData yang berupaya memeras Bank Mandiri. Tulisan tersebut muncul di Kompasiana beberapa menit, namun pada akhirnya dihapus.

Ada beberapa hal yang membuat saya tertarik dengan tulisan yang diunggah oleh akun Jilbab Hitam tersebut. Pertama, saya adalah pembaca majalah TEMPO. Daya telisik awak redaksi majalah mingguan tersebut cukup saya acungi jempol. Banyak isu berhasil diungkit TEMPO, dan isu tersebut tidak didapat oleh media lain. Kredibilitas majalah tersebut pun cenderung baik. Oleh sebab itu saya cukup terperanjat dengan isu miring tentang TEMPO.

Kedua, beberapa nama wartawan yang disebut memeras, dalam tulisan itu, adalah orang-orang yang saya kenal. Ketiga, tulisan tersebut mengaitkan wartawan (profesi yang pernah saya lakoni selama 6 tahun), dan PNS (profesi yang sekarang saya jalani).

Bagi seorang wartawan, tulisan di Kompasiana tersebut cukup menghebohkan. Saya haqul yakin, pekan ini tulisan tersebut akan menjadi perbincangan hangat di kalangan jurnalis dan penata humas. Sayangnya, tulisan tersebut tidak menyertakan konfirmasi dari pihak yang dituding. Mungkin karena alasan tidak adanya cover both side itulah, maka akhirnya admin Kompasiana menghapusnya dari laman ini.

TEMPO, adalah sebuah perusahaan media yang wartawannya manusia, bukan malaikat. Jadi kalau ada segelintir orang didalamnya yang bermain uang, jangan heran. Sebab, dunia wartawan memang lekat dengan uang alias jale. Saya pernah menulis bagaimana segelintir wartawan di bayar untuk mendukung aksi menggulingkan Sri Mulyani. Fathanah saja, yang berlabel ustaz dan lulusan Kairo saja bisa tergoda dengan uang dan perempuan.

Diskusi mengenai jale bisa panjang lebar. Hal itu menjadi isu yang tidak pernah selesai hingga saat ini. Perbincangannya mulai dari soal moral, hingga merembet ke soal gaji wartawan dan bisnis media. Dari sisi moral, ya itu tadi, wartawan memang sangat dekat dengan uang. Biasanya kantor pemerintah dan perusahaan-perusahaan yang menggelar konferensi pers menyiapkan jale. Harapan mereka tentu para wartawan menulis berita yang positif tentang perusahaan/kantor pemerintah itu. Nah tinggal moral wartawannya, apakah mau menerima duit itu atau tidak.

Di Indonesia, kesejahteraan wartawan adalah sebuah tuntutan yang kerap diabaikan oleh pemilik media. Kondisi ini berbeda dengan nasib wartawan di Malaysia, Singapura, atau Brunei. Apalagi kalau dibandingkan dengan negara maju seperti Amerika Serikat dan Jerman. Tak heran, tulisan di Kompasiana tentang majalah TEMPO, mengungkap bahwa sebuah grup media besar di Jakarta menyuruhwartawannya mencari iklan atau uang tambahan dari narasumber.

Isu ini bukan pepesan kosong. Saya mengalaminya sendiri. Kebetulan, divisi tempat saya bekerja saat ini memiliki anggaran untuk memasang advertorial di media. Beberapa wartawan pernah mendatangi saya untuk menawarkan iklan. Padahal, di media yang baik, itu menjadi tugas Account Executive sebagai pemasar iklan.

Minimnya gaji wartawan, salah satunya disebabkan karena putaran uang di bisnis media cetak memang tergolong kecil. Tanpa memperhitungkan iklan, harga jual sebuah koran hanya selisih ratusan rupiah dibanding biaya produksi. Apalagi harga kertas terus merangkak naik. Bahkan, harian KOMPAS mensubsidi pembacanya. Harga jual harian terbesar itu masihjauh di bawah biaya produksinya.

Yuk kita berdoa saja, semoga daya beli masyarakat meningkat, pertumbuhan ekonomi meroket. Sehingga pemilik media tidak segan menaikkan harga jual koran mereka dan mereka mampu membayar pekerjanya dengan layak. Alhasilpara jurnalis terhindar dari praktik suap. (Yohan Rubiyantoro, mantan Wartawan Kontan/Kompas Gramedia, KCM)

sumber : http://www.rimanews.com/read/20131112/126120/jale-dan-isu-miring-tentang-majalah-tempo, akses tgl 15/11/2013.


{ 0 comments... read them below or add one }

Post a Comment