Search

Akhirnya, Media Memang Bukan Tempat Menemukan Kebenaran Final

Posted by Zam on Sunday, November 24, 2013

Refleksi dari kasus Jilbab Hitam vs Tempo: Beberapa waktu lalu cukup ramai dipergunjingkan tulisan dari akun ‘Jilbab Hitam’ di Kompasiana yang mengkonstruk sebuah opini provokatif; upaya pemerasan terhadap perusahaan BUMN oleh media ternama (Kini tulisan tersebut sudah diturunkan). Sebagai manusia yang melek media, saya fikir kita tidak perlu memihak opini mana yang benar (Media Pemeras itu atau Perusahaan yang diperas).

Tapi satu hal yang harus kita camkan; ‘Justification‘ informasi dari media tidak pernah bersifat final hanya dalam satu tulisan/pemberitaan bahkan episode saja, Karena sifat media yang bersifat dinamis, maka informasi yang diberikanya akan selalu berubah- ubah sehingga keberadaan informasi tersebut menjadi lebih confirmed, correction dan perivikatif! Sinetron yang dengan puluhan episode saja selalu berotasi peranya dari yang antagonis menjadi protagonist, dan seterusnya.

Apalagi jika menerapkan theory CDA analisis wacana Norman Fairclough, bahwa wacana (Media) adalah adaptasi realitas yang bersifat ‘permukaan’ (Ingat; Hanya pemukaan). Untuk mengexplorasi kebenaran inti (subtansialnya) harus dilakukan pendalalaman dengan analisa CDA; sosial, situasional, Institusional. Dengan demikian, media bukanlah ‘tempat dan alat yang baku (mutlak)’ untuk menemukan kebenaran. Karena itu tadi, untuk mencapai sebuah kebenaran yang ‘mendekati akurat’ sebuah wacana paling tidak manusia harus melakukan tiga tahapan CDA prespektif Norman Fairclough. Karena sudah barang tentu, sebuah Informasi yang dipublish pastinya juga dipengaruhi oleh tiga factor tersebut;

1.Institusional ; Bagaimana sebuah ideology, mainstream pemberitaan, pola manajeman sebuah institusi media ikut merencakanan dan mengkonstruk setiap Informasi yang masuk dan kemudian memilah dan memilih mana yang harus disebarkan. Selama ini, untuk topic- topic politik dan hukum, Tempo memang concern dengan ‘berita- berita opini’ yang diexploratif secara mendalam, bahkan seringkali kita menemukan informasi- informasi yang tidak populer namun memiliki news velue pada berita- berita majalah tersebutMajalah tersebut.

2.Sitasional; Hampir mirip dengan Sosial hanya saja ia lebih mikro, dan focus pada sebab Munculnya sebuah informasi, dan Akibatnya Jika Infoprmasi tersebut disebar luaskan. Akibat ini memiliki dua nilai; positif dan negative. Dia bersifat Internal (Media- Publik- Tempo)dan External (Bank Mandiri).

3.Sosial; Adalah sebuah factor analisa yang lebih luas (Makro) lagi dari situasional, biasanya ia meliputi kondisi social- cultural, ekonomi dan politik. Biasanya sebuah Informasi akan diexpose untuk kepentingan visi yang lebih jauh dan global, dan dampaknya akan dapat dilihat dirasakan setelah beberapa waktu, tidak seketika

Jika cara Norman Fairclough tersebut terasa rumit. make it simple; Ajak (juga) hati Nurani anda memikirkanya, jngan hanya akal dan Nafsu (ego) saja. Ingat Kita (Manusia) hanya punya Hak Subjective saja.

Tulisan ini saya buat, karena saya memang memiliki ‘kesan’ pada peristiwanya. Saya termasuk orang yang pernah belajar langsung Ilmu jurnalistik dari Mas Bambang Harimurti saat masih dibangku kuliah dulu.Apakah BHM memang sudah berubah jadi “seperti itu”?, mungkin itu bukan urusan saya. Atau anak- anak Tempo seperti itu? juga bukan urusan saya. Yang saya tau BHM Jurnalist senior yang memang handal. Dan yang lebih penting lagi, diera Informasi saat ini, semua kita harus lebih melek lagi dan sadar akan akan keberadaan media. Karena selain Tuhan dan para Malaikatnya.. ternyata masih ada ‘sosok’ lain yang senantiasa memonitor kehidupan ini; Ya, Media-lah yang juga akan selalu ikut ‘mengawasi’ kita semua, termasuk Kompasiana ini.

Jokowi Hater dan Jilbab Hitam

Jokowi hater dan jilbab hitam makhluk apa pula itu? Ya, beberapa hari ini Kompasiana dan media seperti Tempo,Kompas,dan media nasional lagi kebakaran jenggot eh kertas. Betapa tidak. Sebuah akun tidak terverifikasi menyaru di Kompasiana mengaku sebagai mantan wartawan Tempo dan menjelek-jelekan Tempo dan Kompas serta media nasional lainnya yang dituduh bermain uang sebagai media pencitraan. Media wartawan bodrex dan kecurangan jurnalisme lainnya.

Akun seperti jilbab hitam ini cukup banyak di kompasiana. Seperti halnya akun-akun Jokowi hater yang menulis artikel tentang Jokowi tetapi hanya menjelek-jelekan pak Jokowi saja. Paling hanya beberapa akun terverifikasi yang  tulisannya bernada mengkritik Jokowi. Tapi selebihnya adalah akun yang dibuat berujuan untuk memfitnah pak Jokowi.

Fenomena ini akan semakin marak menjelang pemilu dan pilpres 2014 nanti. Jika Kompasiana tidak memperketat aturan terhadap akun yang belum terverifikasi, maka saya yakin akan muncul lebih banyak jilbab hitam-jilbab hitam lainnya di Kompasiana.

Hal ini bisa meruntuhkan kredibilitas Kompasiana sebagi media jurnalis warga yang bertanggung jawab. Jika fenomena ini terus dibiarkan, maka Kompasiana akan mirip seperti blog-blog tak jelas lainnya yang kadang memuat berita-berita dari sumber-sumber tak jelas dan penulis yang tak jelas juga.

Pengelola Kompasiana harus segera menyadari hal ini. Jangan hanya mementingkan rating sesaat namun mengorbankan apa yang sudah dibangun selama 5 tahun ini. Maraknya akun PKS Lover yang hobi copas dulu juga sempat membuat geger Kompaasiana. Sekarang malah muncul lagi Jokowi hater yang juga merupakan akun abal-abal dan tak bertanggung jawab.

Tulisan ini bukan karena saya sebagai pendukung Jokowi, namun saya menyayangkan dan mengkhawatirkan jika Kompasiana ini terpuruk akibat ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab seperti akun yang tak jelas identitasnya dan tak bertanggung jawab dalam setiap tulisannya.

(KCM/Kompasianer,Abdul Rahman Sutara)
sumber : http://www.rimanews.com/read/20131114/126574/akhirnya-media-memang-bukan-tempat-menemukan-kebenaran-final, akses tgl 15/11/2013.


{ 0 comments... read them below or add one }

Post a Comment